Dewasa Tanggung

Sudah lebih dari seminggu sejak, kegalauan yang melanda pikiran itu datang. Semua permasalahan mulai diurai satu persatu, apa sebenernya yang menyebabkan pikiran-pikiran itu hinggap.

“Bagaimana, apakah mas bisa ikhlas? Kapan mas tidak lagi mempertanyakan dan mempermasalahkan hal ini terus? Tidakkah kondisi ini mengganggu kehidupan mas?” tanyanya. Pertanyaan itu aku jawab dengan sambil terus berpikir:

“Maksudku dari awal hanyalah ingin berbagi mengenai perasaan yang aku rasakan tentang kondisi yang sekarang terjadi. Saya ingin mendengar pendapat darimu dan berharap sekali mendapat dukungan darimu. Di sini kamulah orang yang paling dekat dengannya. Respon darimu sungguh akan berpengaruh besar terhadap caraku menyikapi permasalan yang ada.”

“Aku sangat menyadari bahwa menjalani dan menghadapi semua ini tidak mudah dan membutuhkan kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Memang, biar bagaimanapun tetap harus dihadapi dan tidak boleh lari dengan hanya meratap dan menangisinya. Bukankah ini satu-satunya jalan yang harus ditempuh bila ingin permasalahan selesai dan tidak berlarut-larut? Akan sangat tidak benar kalau aku memungkiri kenyataan yang ada di depan mata. Di lain pihak bagaimana kondisi kakakmu saat ini? Dapatkah dia menciptakan kondisi yang nyaman untuk semua pihak? Adalah wajar jika saya nantinya mendapat bagian kondisi yang tidak nyaman. Bahkan untuk mereka yang berhati besarpun akan goyang saat menerima keputusan yang tidak menyenangkan, sebelum akhirnya bisa memulihkan diri seiring berjalannya waktu.”

Kesan pertama saya sewaktu pertemuan sebelum kita mengurus diri masing-masing dengan saling berusaha memperbaiki diri adalah lumayan unik. Harapan demi harapan masih terus digelembungkan. Jadi, kemungkinan  harapan tersebut menjadi kenyataan masih ada dan lumayan besar.

 

Leave a comment